Sejarah Perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin - Sultan Thaha
Syaifuddin, seorang pahlawan Nasional yang lahir di Jambi pada tahun
1816 di lingkungan istana Tanah Pilih Kampung Gedang kerajaan Jambi.
Merupakan sosok yang tak pernah gentar dalam membela tanah air. Secara
tegas dan berani beliau menyatakan penolakan terhadap kekuasaan
pemerintah Belanda.
Semenjak kecil, bocah kecil bernama Taha Saifuddin memang sudah memiliki
keistemewaan dalam dirinya. Tanda-tanda itu tampak pada kecerdasan dan
ketangkasan yang kerap terlihat saat dia bermain dengan teman sebayanya.
Bakat alam luar biasa itu sudah dimilikinya sejak dia lahir dari rahim
sang ibu yang kala itu menjadi permaisuri di kerajaan jambi. Taha
Saifudin adalah anak Sultan Fachruddin, sultan pertama yang memerintah
jambi sekitar awal abad ke-19 lalu.
1) Sultan thaha airport jambi
2) Kri sultan thaha syaifuddin
3) Sultan thaha international airport
4) Nama nama pahlawan jambi
5) Selalu sama dengan yang dulu
6) Perlawanan rakyat jambi terhadap belanda
7) Biografi raden mattaher
8) Sultan alaudin berhasil menyebarkan agama islam di
Sang bocah selalu berani dan pandai bergaul dengan siapa saja tak ada
batasan yang dia lakukan kepada teman-temannya yang sama-sama keturunan
bangsawan, atau dengan anak-anak para hulubalang yang menetap di
perkampungan, Taha Saifuddin tak pernah sama sekali membedakan mereka.
Berani karena benar dan takut akibat perbuatanya yang salah,begitu
prinsip hidup yang dia jalankan. Sikap baik ini sangat kuat tertanam
dalam dirinya. Sikap itu pula yang pada akhirnya membentuk pribadi sang
putra mahkota sampai kelak dewasa dan mampu memimpin kerajaan islam di
jambi secara manusiawi.
Dia lindungi rakyat dari penindasan dan kesulitan hidup. Dia perangi
kezaliman dan angkara murka kaum penjajah tanpa jera sampai mati tak ada
sedikit pun kata kompromi yang dia kabulkan. Jika dalam kenyataan hal
itu merugikan dan membuat sengsara kehidupan rakyat jambi. Bocah Taha
Saifuddin memang tak pernah lepas dari paham-paham kejujuran dan
kebenaran. Dia pun tak menyukai keangkuhan dan ketamakan.
Taha biasa dididik ayahnya dengan ajaran budi pekerti yang luhur serta
ajaran agama islam yang kuat. Bahkan, pelajaran ilmu ketauhidan telah
lama meresap secara baik di dalam jiwanya sejak usia lima tahun. Sang
putra mahkota jambi percaya benar, tak ada kekuasaan yang paling besar
dan kekal di dunia ini selain kekuasaan Allah swt. Dan, dari dasar
keyakinan yang ditumbuhkan sang ayah itu, bocah cilik ini akhirnya mampu
berkembang sebagai anak yang luar biasa, berani, dan ulet dalam segala
pekerjaan, termasuk dalam cara mengungkapkan pendapat pribadinya.
Di masa putra mahkota ini hidup, jambi telah memiliki sejarah perjuangan
yang cukup lama. Pada awal abad ke-19 atau pada saat dia dilahirkan
tahun 1816, pemerintahan kerajaan yang ditampuk oleh sang ayah ini sudah
bercorak islam. Corak lama yang menganut unsur Hindu-Buddha telah
ditinggalkan.
Sejak awal abad ke-19 itu pula, sisa kejayaan Sriwijaya dan Singasari
maupun Majapahit yang pernah mampir di jambi sebelumnya telah berubah
total. Bentuk kerajaan pun diubah menjadi kesultanan. Dan, Sultan
Fachruddin, ayah sultan taha yang pemerintahannya selalu di bawah
tekanan Belanda, menjadi sultan Jambi pertama yang beragama islam.
"Anakku, terimalah lambang kerajaan berupa pusaka keris Siginje ini.
Kelak, dia akan mendampingimu dalam memerintah jambi secara lebih baik
lagi daripada pemerintahanku sekarang. Bawalah serta keris ini sebagai
tanda bukti ikatan antara sultan dan rakyatnya. Perangilah terus
penjajah Belanda agar segera menyingkir dari bumi jambi kita ini.
Sabda ini suatu hari diucapkan Sultan Fachruddin di istananya kepada
sang putra mahkota. Baginda yang sudah cukup tua ini merasa ajalnya
sudah dekat. Dalam usia senjanya itu tampuk pemerintahan pun sementara
dititipkan kepada adik Baginda bernama Sultan Abdurachman. Sedangkan,
Sultan Taha sendiri karena masih muda dan baru berusia 25 tahun,
diserahi tugas sebagai perdana menterinya.
Sikap baginda ini sangat membuat iri adiknya yang lain, yaitu Sultan
Nachruddin dan para anak keturunannya. Sebab, mereka merasa punya hak
yang sama pula untuk memerintah jambi, namun mereka tak kuasa. Lambang
kesultanan berupa "keris siginje" yang menjadi syarat mutlak dalam
memerintah kerajaan telah dimiliki Sultan Taha sehinggga secara resmi
rakyat jambi tak mendukung atau mengakui keberadaan Sultan Nachruddin.
Sedangkan, pemerintahan Sultan Abdurachman pun sifatnya hanya sementara.
Setelah lambang kebesaran atau kekuasaan raja itu dilimpahkan kepada
Sultan Taha, Baginda Sultan Fachruddin wafat dengan tenang. Baginda
meninggalkan sejumlah tugas yang harus bisa diselesaikan oleh adik dan
putra satu-satunya ini. Kala itu, kesultanan jambi tengah menghadapi
posisi sulit.
Perjuangan Sultan Thaha Saifuddin Melawan Belanda. Belanda
sebelumnya telah berhasil menekan sang Sultan untuk menandatangani surat
perjanjian yang isinya harus mengakui hak serta kekuasaan penjajah
dalam perdagangan di wilayah jambi. Tindakan yang merugikan jambi ini
memang tak kuasa ditolak oleh Sultan Fachruddin kala masih hidup.
Karenanya sebagai penerus pemerintahannya, Sultan Taha menghadapi tugas
mahaberat.
Jiwanya yang penuh diliputi ilmu ketauhidan terus berontak melihat sikap
belanda dan VOC yang akan mengambil kekuasaan penuh yang ditinggalkan
ayahandanya. Dia ingin agar jambi dapat kembali menjadi kesultanan yang
berdaulat penuh atas rakyatnya - Sejarah Perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin.
Maka untuk memulihkan kondisi semula, tindakan pertama yang akan
dilakukannya itu suatu ketika diungkapkan kepada sang paman, Sultan
Abdurachman.
"Paman Sultan, aku sama sekali tak dapat menerima tindakan belanda ini.
Aku tak suka bila jambi terjual begitu saja kepada kekuatan asing.
Sanggupkah kita melawan mereka sekarang paman?". "Benar, Ananda
Pangeran. Jika dengan perlawanan senjata dan pengerahan rakyat ke medan
tempur, sudah tentu tak mungkin kita dapat mengimbangi kekuatan Belanda.
Untuk itu, kita harus mencari cara yang praktis. Nah, bagaimana jika
kita mengadakan hubungan dengan bangsa Amerika?
Sebentar lagi kaum pedagang asing itu akan datang ke jambi untuk mencari
rempah-rempah". Tepat sekali saran paman. Dengan pegabungan dua
kekuatan nantinya, sekaligus aku akan mengeluarkan pula maklumat untuk
tak mengakui perjanjian lama yang pernah ditandatangani oleh ayahanda
dahulu. Bergegaslah, Paman. Sebab, menurut kabar di palembang pun pihak
sultan setempat tengah memberontak pula melawan Belanda. Ini kesempatan
bagi jambi untuk mengacaukan mereka."
Menjelang perlawanan besar itu tiba, pihak jambi dan Belanda tiba-tiba
serentak dibuat kaget. Sultan merasa kaget karena para pedagang Amerika
yang akan siap membantunya telah ditangkap Belanda sebelum mengadakan
aksi penyerangan. Rahasia ini bocor akibat laporan dari sultan
Nachruddin yang merasa iri dan ingin memencing di air keruh. Adik nomor
dua sultan pertama Jambi ini berharap, dengan jasanya itu kelak dia pun
akan diangkat menjadi sultan pula oleh Belanda.
Di sisi lain, Belanda ternyata lebih kaget lagi. Pasalnya, bangsa
penjajah ini tak menduga bahwa di samping perlawanan besar. Sultan Taha
yang memimpin pasukan Jambi menyodorkan pula maklumatnya. Sultan Taha
menghapus perjanjian lama, dan isi maklumat yang dibuatnya sama sekali
tak mengakui hak-hak belanda atas Jambi. Belanda lalu membujuk sang
Sultan untuk memperbaharui saja isi perjanjian lama. Namun, harapan
Belanda ini ditolak mentah-mentah. Akhirnya, pertempuran besar pun
berlangsung dengan kekalahan di pihak Belanda.
Namun, meskipun Jambi berhasil memperoleh kemenangan besar, hati Sultan
sangat sedih. Pamannya, sultan Abdurachman, tewas. Sementara pamannya
yang lain, yaitu paman sultan Nachruddin, kini berada di pihak Belanda
dan secara tak langsung tuk mengakui pula Sultan Taha sebagai Sultan
Jambi ke-3. Kemenangan ini sekaligus telah memecah dua bagian isi
kesultanan Jambi. Namun, Sultan Taha terus memimpin rakyat. Kebencian
terhadap pamannya yang berkhianat itu justru membuat dia lebih dekat
lagi mengikis habis bentuk penindasan serta penjajahan di bumi Jambi.
Akhirnya, Sultan Taha berhasil melaksanakan niatnya. Dia memimpin
pemerintahan baru dengan bekal pusaka Keris Siginje. Sebagai tanda
kebesaran kesultanannya. Sultan Nachruddin pun diusir. Dia di nobatkan
sebagai Sultan Jambi III dengan gelar Pangeran Jayaningrat.
Pemerintahannya yang sah dan kini menghadapi perlawanan segitiga itu,
dibantu oleh anak Sultan Abdurachman yang juga adik sepupunya bernama
Raden Muhammad, yang kemudian bergelar Pangeran Kartadiningrat.
Sementara itu, pihak Belanda menyusun kembali kekuatan baru. Bala
bantuan yang akan dipakai menebus kekalahan perangnya dengan kesultanan
Jambi cepat didatangkan dari Palembang. Dibantu Sultan Nachruddin yang
telah menjadi antek sekutunya, kemudian terjadilah perang kedua. Istana
kesultanan diserang dan dihancurkan, Sultan Taha terpaksa meninggalkan
istananya yang porak-poranda. Dia pergi mengungsi ke wilayah Muara
Tembesi.
Bersama sisa-sisa pengikut setianya, dia lalu melancarkan perang
gerilya. Sultan Nachruddin resmi diangkat Belanda sebagai sultan baru
yang ke-4. Tetapi, rakyat Jambi tetap tak mau mengakuinya. Pusaka keris
Sigenje yang dipakai sebagai bukti kekuasaan raja masih ada di tangan
Sultan Taha. Untuk itu, sekalipun Belanda memberlakukan pasal perjanjian
baru yang lebih merugikan serta hanya menguntungkan pihak VOC, pihak
rakyat jambi tetap memihak kepada Sultan Taha.
Untung saja menyadari posisinya yang sangat kurang menguntungkan karena
di satu sisi sebagai sultan baru dia tak diakui kedaulatannya oleh
rakyat, sementara di pihak lain Belanda pun mengadakan penekanan
terhadapnya, akhirnya dengan sisa-sisa semangat nasionalismenya Sultan
Nachruddin kembali berbelok arah. Secara diam-diam, dia pun menyatakan
bersalah kepada keponakannya di tempat pengungsian. Pernyataan yang
disampaikan secara langsung diterima dengan gembira oleh Sultan Taha.
Kemudian, dengan diam-diam pula tanpa diketahui Belanda, sang sultan
gadungan Nachruddin segera memindahkan pusat pemerintahannya dari Jambi
ke suatu wilayah bernama Dusun Tengah, yang lokasinya sekarang
berdekatan sekali dengan Muara Tembesi yang kala itu menjadi pusat
kegiatan gerilya Sultan Taha.
Pihak Belanda pun berhasil dikecoh sampai waktu yang cukup lama oleh
kedua paman dan keponakan yang sama-sama bertekad untuk bersatu padu
kembali membela tanah jambi itu. Perlawanan demi perlawanan pun terus
digencarkan sampai batas waktu yang tak terhingga. Dikabarkan, pihak
jambi tetap berada di bawah kendali Sultan Taha dalam posisi gerilyanya
hingga mencapai usia 85 tahun dan tetep tak mengakui kehadiran Belanda
maupun organisasi dagangnya, VOC.
Waktu itu pasukan Sultan Taha dan Sultan Nachruddin terus mengadakan
perlawanan. Pertempuran kerap berlangsung dari waktu ke waktu di seluruh
wilayah jambi. Mulai dari wilayah Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi,
Muaro Tebo, Mesumai, Merangin, hingga ke Kuala Tungkal, perlawanan
rakyat Jambi terus bergolak.
Sultan Taha sendiri tak mempunyai pikiran untuk menyerah sekalipun perlawanan yang ditunjukannya lama-kelamaan semakin parah - Sejarah Perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin.
Tetapi bagaimanapun, semangat perjuangan rakyat jambi yang tak didukung
oleh persenjataan besar sebagaimana perlawanan pihak kerajaan pribumi
di wilayah Indonesia lainnya itu tetap berhasil mematahkan maklumat keji
yang di buat Belanda. Kala itu, Belanda telah sempat memperluas
kekuasaannya dengan kisah perjuangan yang cukup itu.
Akhirnya sang sultan mengasingkan diri di sebuah daerah Tebo, sampai
beliau menghembuskan nafas terakhirnya sebagai pahlawan yang tak pernah
lelah mengusir penjajah dari tanah jambi. Bahkan pemerintah pun tak
pernah menghapus nama besarnya dan bumi Jambi. Dan, sebagai tanda
penghormatan dari pemerintah, kini nama Sultan Taha tersebut terukir
abadi sebagai nama bandar udara dan salah satu perguruan tinggi di
provinsi tersebut. Berdasarkan SK Presiden RI No. 079/TK/1977, Sultan
Thaha Syaifuddin dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Mirnawati (2012). Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap. Jakarta: CIF
